PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang
Gangguan somatisasi telah dikenal sejak jaman Mesir kuno.
Nama awal untuk gangguan somatisasi adalah histeria, suatu keadaan yang secara
tidak tepat diperkirakan hanya mengenai wanita, (kata “Histeria” di dapatkan
dari kata bahasa Yunani untuk rahim,Hystera). Pada abad ke-17 Thomas
Syndenham menemukan bahwa faktor psikologis yang dinamakannya penderitaan yang
mendahului (antecendent sorrow), terlibat dalam patogenesis gejala
gangguan somatisasi.
Pada tahun 1859 Paul Briquet, seorang dokter Prancis,
mengamati banyaknya gejala dan sistem organ yang terlibat dan perjalanan
penyakit yang biasanya kronis. Karena pengamatan klinis tersebut maka gangguan
ini dinamakan Sindroma Briquet. Akan tetapi sejak tahun
1980 sejak diperkenalkan DSM edisi ketiga (DSM III) istilah “Gangguan
Somatisasi” menjadi standar di Amerika Serikat untuk gangguan yang ditandai
oleh banyak keluhan fisik yang mengenai banyak sistem organ. Untuk menambah dan
melatih kecakapan penulis dalam mata kuliah Psikiatri, maka kami ditugaskan
membuat sebuah makalah. Tugas makalah ini diajukan sebagai pemenuhan tugas
semester mata kuliah tugas Psikiatri.
Makalah ini memaparkan dan membahas konsep gangguan
somatoform dan aspek-aspek penyembuhan bagi penderitanya. Makalah ini
dilatarbelakangi oleh keinginan untuk meneliti dan mengkaji konsep gangguan
somatoform. Disamping memenuhi tugas mata kuliah Psikiatri, penulis juga ingin
mengkaji teori somatoform lebih dalam, sehingga dapat mengetahui apa yang
membuat bentuk gangguan tersebut tersebut muncul pada keadaan-keadaan tertentu.
1.2 Rumusan
maslah
1.
Apakah yang dimaksud disosiatif dan somatoform disorders?
2.
Apa saja kah gangguan terhadap disosiatif
dan somatoform disorders itu?
3. Bagaimana penangganan terhadap disosiatif dan somatoform disorders?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui maksud dari disosiatif dan somatoform disorders?
2. Mengetahui apa saja kah gangguan terhadap disosiatif dan somatoform
disorders itu?
3. Mengetahui penangganan terhadap disosiatif dan somatoform disorders?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 GANGGUAN
DISOSIATIF
a) Difinisi
Gangguan Disosiatif
Gangguan
disosiatif adalah gangguan-gangguan atau perubahan-perubahan dalam fungsi
integrasi yang normal dari identitas, ingatan, atau kesadaran (Semiun, 2010).
Gangguan
disasosiatif adalah gangguan yang ditandai dengan adanya perubahan perasaan
individu tentang identitas, memori, atau kesadarannya. Individu yang mengalami
gangguan ini memperoleh kesulitan dalam mengingat peristiwa-peristiwa penting
yang pernah terjadi pada dirinya, melupakan identitas dirinya bahkan membentuk
identitas baru (Davidson,Nale dalam Fausiah,widuri, 2007)
Disasosiatif
psikologi adalah perubahan kesadaran mendadak yang mempengaruhi memori dan
identitas. Individu yang menderita gangguan disasosiatif tidak mampu mengingat
bergbagai peristiwa pribadi tentang atau selama beberapa saat lupa akan
identitasnya atau bahkan membentuk identitas baru.
Secara
umum gangguan disasosiatif bisa didefinisikan sebagai adanya kehilangan
(sebagian, atau seluruh) dari integrasi normal (di bawah kendali sadar) yang
meliputi ingatan masa lalu, kesadaran identitas dan penginderaan segera (awarness
of indetity and immediate sensations), serta control terhadap gerak
tubuh.
Sedangkan
menurut (Nevid,dkk, 2003), gangguan somatofrom adalah suatu kelompok gangguan
yang ditandai oleh keluhan tentang masalah atau simtom fisik yang tidak dapat
dijelaskan oleh penyebab kerusakan fisik. Pada gangguan ini, orang memiliki
sistem fisik yang mengingatkan pada gangguan fisik, namun tidak ada
abnormalitas organik yang dapat ditemukan sebagai penyebabnya. Gejala dan
keluhan somatik menyebabkan penderitaan emosional/gangguan pada kemampuan
pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Gangguan
somatoform tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan.
b) Macam-macam
Gangguan Disasosiatif
Ada
empat macam gangguan disosiatif: amnesia psikogenetik, fugue psikogenetik, kepribadian ganda, depersonalisasi (holmes,
1991 dalam Semiun, 2010).
Masing-masing
tipe melibatkan disosiasi, tetapi cara disosiasi itu diperoleh berbeda antara
gangguan yang satu dengan yang lain. misalnya, induvidu mungkin melupakan
sesuatu hal yang menimbulkan stres (amnesia), meninggalkan situasi yang
menyebabkan stres, dan megembangkan suatu identitas baru (fugue), atau mengembangkan kepribadian-kepribadian alternatif
(kepribadian ganda).
1.
Amnesia Psikogenik
Amnesia disosiatif dipercaya sebagai
tipe yang paling umum dari gangguan disosiatif (Maldonado, Butler, &
Speigel, 1998 dalam Nevid,dkk 2003). Ketidakmampuan menyebutkan kembali
informasi pribadi yang penting, biasanya melibatkan pengalaman yang traumatis
atau penuh tekanan, dalam bentuk yang tidak dapat dianggap sebagai lupa biasa.
Kehilangan ingatan disini tidak disebabkan dengan oleh penyebab organis
tertentu, seperti kerusakan pada otak atau kondisi medis tertentu, bukan pula
efek langsung dari obat-obatan.
2.
fugue
psikogenetik
Fungue
pada dasarnya adalah juga amnesia. Dengan dinamika yang sama dengan amnesia,
fungue memperoleh perlengkapan lain untuk menghindari situasi dan keberhasilan
dari keinginannya itu terjamin apabila ia melarikan diri dan meninggalkan
rumahnya, kampung halamannya, kota atau tanah airnya. disini terjadi disosiasi
dengan lingkungannya. Karena cenderung memilih untuk lari dari lingkungannya
baik secara fisik maupun secara psikologis (dalam angan-angan dan khayalannya)
(Semiun, 2010).
Ada usaha unsaha untuk merealisasikan
harapan-harapan tertentu yang ditekankan atau ada usaha untuk menghindari
beberapa peristiwa; atau ada usaha untuk melupakan kenangan-kengangan tersebut
ditekan kuat-kuat kedalam alam tak sadar karena dianggap menggangu egonya.
Keadaan fungue berlangsung mungkin
dalam beberapa jam, beberapa hari, beberapa bulan, bahkan beberapa tahun
(Semiun, 2010).
Penderita fungue biasanya tidak ingat lagi siapa dirinya, dari mana dia
berasal, dan dimana dia sekarang meskipun melakukan segala hal sama seperti
orang normal lainnya. Dengan kata lain ketika fungue ini berakhir penderita akan kembali lagi pada identitas
aslinya, dan penderita sama sekali tidak ingat apa yang dia lakukan selama
mengalami fungue.
Ciri lain dari fungue yang membedakan dari amnesia, yaitu bahwa dalam fungue, individu tidak menyadari sesuatu
yang hilang dan menggunakan sesuatu yang baru (suatu identitas baru) secara
tepat (Semiun, 2010).
3.
Depersonalisasi
Gangguan depersonalisasi adalah suatu
kehilangan atau distorsi diri yang sifatnya sementara dan hanya terjadi
sekali-kali. Penderita gangguan ini merasa seolah-olah ukuran kaki dan tangan
mereka berubah, seolah olah mereka bertindak secara mekanik, seolah-olah mereka
berada dalam mimpi, atau seolah-olah mereka keluar dari tubuh mereka dan melihat
diri mereka dari kejauhan (Seminun, 2010).
Kehilangan atau perubahan temporer dalam
perasaan yang biasa mengenai realitas diri sendiri. Dalam suatu tahap
depersonalisasi, orang merasa terpisah dari dirinya sendiri dan lingkungan
sekitarnya. Mereka mungkin merasa sedang bermimpi atau bertingkah laku seperti
robot (Guralnik, Schmeidler, & Simeon, 2000; Maldonado, Butler, &
Speigel, 1998 dalam Semiun,2010).
- kepribadian
ganda
Gangguan ini disebut juga gangguan
identitas disosiatif (Kendall & Hammen,1998 dalam Semiun, 2010). ini adalah
bentuk disosialisasi yang dramatis dimana penderita mengembangkan dua atau
lebih kepribadian yang terpisah dan biasanya jelas berbeda. ada disosiasi
lengkap dari kepribadian terhadap lingkungannya. ini disebabkan karena adanya
kompleks kejiwaan dimana tata susunan kepribadian yang satu menunjukan
ciri-ciri yang terpisah dan berlawanan dengan ciri-ciri tata susunan kepribadian
yang lebih baik dari segi-segi emosional maupun dalam segi-segi kognitif.
masing-masing masing pribadi lalu menjadi otonom, berdiri sendiri,
berdampingan, berjejer tetapi tidak bersosiasi satu sama lain (tidak berhubungan,
terdapat disosiasi).
Penggantian pribadi yang satu ke pribadi
yang lain mungkin berlangsung beberapa kali dalam sehari, dalam satu minggu,
atau dalam beberapa bulan. Penderita biasanya tidak ingat apa yang terjadi jika
pribadi yang satu dengan yang satu sedang berfungsi, maka pribadi yang lain
terdesak ke alam tak sadar.
c)
Penanganan Gangguan Disasosiatif
Amnesia dan fugue disasosiatif
biasanya merupakan pengalaman yang mengambang dan segera berakhir. Sedangkan
episode-episode depersonalisasi dapat muncul kembali dan sifatnya persisten,
dan biasanya terjadi bila orang tersebut berada dalam periode kecemasan atau
depresi ringan. Pada kasus-kasus seperti itu, klinisi biasanya berfokus pada
penanganan kecemasan atau depresinya. Sebagian besar perhatian dalam
kepustakaan penelitian berfokus pada gangguan identitas disosiatif dan secara
khusus pada usia mengintegrasikan kepribadian
alter menjadi sebuah struktur kepribadian yang kohesif (Nevid,dkk,
2003).
Psikoanalisis berusaha membantu
orang yang menderita gangguan identitas disosiatif untuk mengungkapkan dan
belajar mengatasi trauma-trauma masa kecil. Mereka sering merekomendasikan
membangun kontak langsung dengan kepribadian-kepribadian alter (Nevid,dkk,
2003). Contohnya, Wilbur (1986) menekankan bahwa analis dapat bekerja dengan
kepribadian apapun yang mendominasi sesi
terapi. Setiap dan semua kepribadian dapat diyakinkan bahwa terapis akan
membantu mereka untuk memahami kecemasan mereka dan untuk “membangkitkan”
pengalaman traumatis mereka secara aman dan menjadikan pengalaman-pengalaman
tersebut disadari. Wilbur meminta para terapis untuk selalu ingat bahwa
kecemasan yang dialami saat sesi terapi dapat menyebabkan perpindahan
kepribadian, karena kepribadian alter diasumsikan terbentuk sebagai alat
untuk mengatasi kecemasan yang tinggi. Namun bila terapi berhasil, self
akan mampu bergerak melalui ingatan traumatis dan tidak lagi perlu melarikan
diri kedalam “self” pengganti untuk menghindari kecemasan yang
diasosiasikan dengan trauma. Dengan demikian, integrasi dari kepribadian menjadi
dimungkinkan.
2.2 GANGGUAN SOMATOFORM
a) Definisi Gangguan Somatoform
Dalam psikologi dikenal istilah Somatoform Disorder
(gangguan somatoform) yang di ambil dari bahasa Yunani soma, yang
berarti “tubuh”. Dalam gangguan somatoform, orang memiliki simtom fisik yang
mengingatkan pada gangguan fisik, namun tidak ada abnormalitas organik yang
dapat ditemukan penyebabnya. Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan
yang memiliki gejala fisik (sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana
tidak dapat ditemukan penjelasan medis. Suatu diagnosis gangguan somatoform
mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang
besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala. Gangguan somatoform adalah
tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan.
Didalam
somatoform disorder terdapat jenis-jenis yang memiliki spesifikasi dan gejala
yang berbeda-beda. Pada gangguan somaform, sebuah kelompok gangguan psikologis
yang melibatkan keluhan akan simtom-simtom fisik yang diyakini merefleksikan
konflik atau isu psikologis yang mendasarinya pada sejumlah kasus tidak ada
dasar medis untuk simtom-simtom fisik tersebut, seperti dalam bentuk kebutaan
atau mati rasa secara histerikal (sekarang disebut gangguan konversi) pada
kasus-kasus lain, orang dapat memegang pandangan yang berlebihan tentang makna
dari simtom fisiknya, dan percaya bahwa hal itu merupakan tanda-tanda dari
suatu penyakit serius meskipun diyakini tidak oleh dokternya (Nevid,dkk, 2003).
Gangguan Somatoform adalah gangguan
yang bersifat psikologis, tetapi tampil dalam bentuk gangguan fisik yang
melibatkan pola neurotic yang didasari anxiety. Individu mengeluh simtom simtom
jasmaniah yang memberikan tanda seolah olah ada masalah fisik, tapi pada
kenyataannya tidak ada landasan organis yang ditemukan (Semiun, 2010).
Gangguan somatoform merupakan
kelompok gangguan yang meliputi symptom fisik (misalnya nyeri, mual, dan
pening) dimana tidak dapat ditemukan penjelasan secara medis. Berbagai symptom
dan keluhan somatik tersebut cukup serius sehingga menyebabkan stress emosional
dan gangguan dalam kemampuan penderita untuk berfungsi dalam kehidupan sosial
dan pekerjaan. Diagnosis ini diberikan apabila diketahui bahwa faktor
psikologis memegang peranan penting dalam memicu dan mempengaruhi tingkat
keparahan serta lamanya gangguan dialami (Kaplan,dkk dalam Fausiah,widuri, 2007)
b) Macam-macam Gangguan Somatoform
Pada bagian
ini akan dibahas tentang berbagai gangguan somatoform, antara lain gangguan
somatisasi, gangguan nyeri (pain disorder),
hipokondriasis, gangguan konversi, dan gangguan dismorfik.
- Gangguan
somatisasi
Gangguan somatisasi adalah
gangguan dengan karakteristik berbagai keluhan atau gejala somatik yang tidak
dapat dijelaskan secara adekuat dengan menggunakan hasil pemeriksaan fisik
maupun laboratorium. Diagnosis gangguan somatisasi digunakan untuk
individu-individu yang banyak menagalami keluhan-keluhan somatic,
berulang-ulang dan berlangsung lama, yang jelas bukan karena suatu penyebab
fisik yang actual. Individu-individu dengan gangguan ini menolak pandangan
bahwa penyebab dari keluhan-keluhan mereka adalah factor psikologis dan mereka
tetap mencari pengobatan.
Gangguan ini sifatnya kronis
(muncul selama beberapa tahun dan terjadi sebelum usia 30 tahun), dan
berhubungan dengan stres psikologis yang signifikan, hendaya dalam kehidupan
sosial dan pekerjaan, serta perilaku mencari pertolongan medis yang berlebihan
(Kaplan,dkk dalam
Fausiah,widuri, 2007).
Adapun menurut DSM IV
gejala-gejala yang muncul harus meliputi (APA, 1994):
·
Empat simtom nyeri pada lokasi yang berbeda (misalnya
kepala, pundak, lutut, kaki).
·
Dua simtom gastrointestinal (misalnya diare, mual)
·
Satu simtom seksual yang berbeda dan rasa sakit/ nyeri
(misalnya ketidakmampuan ereksi)
·
Satu simtom pseudoneurologis seperti pada gangguan
konversi, Menurut (Davison & Neale 2001 dalam Fausiah,widuri, 2007)
gangguan ini diduga terjadi karena pasien terlalu sensitif dengan sensasi
fisik, terlalu berlebihan dalam memperhatikan sensasi tersebut, atau
menginterpretasikannya secara berlebihan. Pandangan behavioral menganggap bahwa
gangguan ini adalah manifestasi kecemasan yang tidak realistis pada sistem
ketubuhan.
- Gangguan
nyeri (pain disorder)
Pada gangguan ini individu akan mengalami nyeri pada satu tempat atau lebih
yang tidak dapat dijelaskan dengan pemeriksaan medis. Rasa sakit ini diduga
muncul akibat faktor konflik psikologis. Penanganan yang dapat dilakukan adalah
dengan pelatihan relaksasi, mengajari penderita bagaimana caranya menghadapi
stres, mendorong untuk mengerjakan aktivitas yang lebih baik, dan meningkatkan
kontrol diri (Durad,david, 2006).
Gangguan nyeri ditandai dengan adanya sakit parah sebagai
fokus perhatian pasien kategori gangguan somatoform yang mencakup berbagai
pasien dengan berbagai penyakit, termasuk sakit kepala kronis, masalah
punggung, arthritis, nyeri otot dan kram, atau nyeri panggul. Dalam beberapa
kasus nyeri pasien tampaknya sebagian besar karena faktor psikologis, namun
dalam kasus lain rasa sakit berasal dari suatu kondisi medis serta psikologi
pasien.
- Hipokondriasis
Hipokondriasis merupakan
kondisi kecemasan yang kronis dimana pendrita selalu merasa ketakutan yang
patologik terhadap kesehatannya sendiri. Penderita merasa yakin sekali bahwa
dirinya mengidap penyakit yang parah (serius). Hipokondriasis adalah hasil
interpretasi pasien yang tidak realistis dan tidak akurat terhadap simtom atau
sensasi, sehingga mengarah pada preokupasi dan ketakutan bahwa mereka memiliki
gangguan yang parah bahkan meskipun tidak ada penyebab medis yang diteniukan.
Pasien yakin bahwa mereka mengalami penyakit yang serius dan belum dapat
dideteksi, dan tidak dapat dibantah dengan menunjukkan kebalikannya (Kaplan,dkk,1994
dalam Fausiah,widuri, 2007).
Penyebab hipokondriasis dapat bermacam-macam (Supraptiknya,1995), antara
lain:
·
Perhatian yang berlebihan pada
fungsi-fungsi tubuh di masa kecil, entah karena meniru orang tua atau karena
pernah sakit keras sehingga menjadikan yang bersangkutan pusat perhatian di
keluarganya. Dengan kata lain, hipokondriasis merupakan gangguan khas
orang-orang yang haus perhatian dari orang lain.
·
Frustasi tertentu sebagai faktor pencetus.
Misalnya, seorang gadis yang tiba-tiba mengeluh menderita macam-macam penyakit
sesudah putus hubungan dengan tunangannya.
·
Perkuatan yang diperoleh dari lingkungan
sosial. Misalnya, karena mendapatkan pengalaman yang menyenangkan waktu
menderita sakit, selanjutnya seorang anak mulai mengeluh menderita macam-macam
penyakit setiap kali menghadapi tantangan hidup.
- Gangguan
konversi
Menurut DSM IV, gangguan konversi adalah gangguan dengan karakteristik
munculnya satu atau beberapa simtom neurologis (misal: buta, lumpuh, dll) yang
tidak dapat dijelaskan secara medis dan diduga faktor psikologis memiliki
peranan penting dengan awal dan keparahan gangguan.
Gangguan konversi (conversion disorders) dicirikan oleh suatu perubahan
besar dalam fungsi fisik, meski tidak ada temuan medis yang dapat
ditemukan sebagai simtom atau kemunduran fisik. Simtom-simtom ini
tidaklah dibuat secara sengaja. Simtom fisik itu biasanya timbul tiba-tiba
dalam situasi yang penuh tekanan. Tangan seorang tentara dapat menjadi “lumpuh”
saat pertempuran yang hebat.
Menurut DSM, simtom konversi menyerupai kondisi neurologis atau medis umum
yang melibatkan masalah dengan fungsi motorik (gerakan) yang volunteer atau
fungsi sensoris. Babarapa pola simtom yang klasik melibatkan kelumpuhan,
epilepsy, masalah dalam koordinasi, kebutaan tunnel vision (hanya
bisa melihat apa yang berada tepat didepan mata), kehilangan indra paendengaran
atau penciuman atau kehilangan rasa pada anggota badan (anestesi) (Nevid,dkk 2003). Anestesi
yaitu
kelumpuhan-sebagian atau seluruhnya-pada tangan atau kaki, gangguan koordinasi
dan kejang, rasa kesemutan, seperti digelitik, atau seperti ada sesuatu yang
merambat pada kulit, tidak sensitif terhadap rasa sakit (kebal), serta
kehilangan atau gangguan sensasi (Davison, neale, dalam Fausiah,widuri, 2007).
Davison & Neale (2001) dalam
(Fusiah,widuri, 2007) mengemukakan beberapa pandangan mengenai etiologi
gangguan konversi. Menurut pandangan psikoanalisa yang dikemukakan oieh Freud
dan Breuler, gangguan konversi terjadi ketika seseorang mengalami peristiwa
yang menimbulkan peningkatan emosi yang besar, namun afeknya tidak dapat
diekspresikan, dan ingatan tentang peristiwa dihilangkan dan kesadaran. Pada
tulisannya kem4djan, Freud mengemukakan hipotesis bahwa ganguan konversi
terjadi pada awal kehidupan perempuan, yang berakar dan electra complex yang
tidak terselesaikan.
Ada tiga katagori simtom (Supratiknya, 2010), antara lain:
·
Simtom sensorik, misalnya berupa hilangnya kepekaan
terhadap berbagai rangsang yang berasal dari luar maupun dalam tubuh
(anestesia); hilangnya kepekaan terhadap rasa sakit (analgesia); rabun ayam dan
sebagainya.
·
Simtom motorik, misalnya berupa paralisis atau
kelumpuhan, biasanya hanya pada salah satu tangan atau kaki dan lumpuhnyapun
bersifat selektif dalam arti lumpuh untuk melakukan kegiatan tertentu tetapi
sehat untuk kegiatan lain (contohnya adalah gangguan pada tangan yang disebut
“writer’s cramp” atau kejang sang penulis, yaitu tidak dapat menggunakan tangan
untuk menulis tetapi dapat untuk bermain kartu).
·
Simtom viskeral (rongga dada dan perut), misalnya
berupa keluhan pusing, sesak napas, ujung tangan dan kaki dingin, dll.
- Gangguan
dismorfik
Definisi gangguan ini adalah preokupasi dengan kecacatan tubuh yang tidak
nyata (misalnya hidung yang dirasakannya kurang mancung), atau
keiuhan yang beriebihan tentang kekurangan tubuh yang minimal atau kecil. Penyebab
gangguan hingga saat ini belum dapat diketahui dengan pasti. Namun diperkirakan
mungkin terdapat hubungan antara gangguan dengan pengaruh budaya atau sosial,
dengan adanya konsep stereotip tentang kecantikan. Sedangkan menurut model
psikodinamik, gangguan mi merefleksikan pemindahan konflik seksual atau
emosional pada bagian tubuh yang tidak berhubungan. Mekanisme defensif yang
digunakan adalah represi, disosiasi, distorsi, simbolisasi, dan proyeksi (Kaplan,dkk, 1994 dalam Fausiah,widuri,
2007).
c) Penanganan Gangguan Somatoform
Jika memang terindikasi bahwa kamu adalah penderita somatoform disorder
disarankan segara mendatangi psikolog untuk diberikan penanganan terapi agar
gangguan dapat berkurang. Namun untuk kamu yang masih dalam taraf yang normal
berikut adalah tips agar mengurangi rasa cemas atau gugup pada saat menghadapi
situasi-situasi yang kurang membuat kamu nyaman:
1.
Tunda Kecemasan
Ini adalah teknik sederhana mengatasi
kecemasan. Jika kamu sedang menghadapi situasi yang mengkhawatirkan, coba
katakan pada diri sendiri “nanti aja deh aku menghawatirkan ini, karna gak akan
terjadi apa-apa hari ini”. Setiap kali masalah muncul di pikiran kamu, pakailah
cara ini karna fakta mengatakan bahwa kecemasan berlebihan sebagian besar tidak
pernah terjadi. Menunda hanya cara untuk mengatasi pikiran negatif. Sifat alami
dari pikiran manusia adalah menciptakan masalah dan mencemaskannya. Teknik ini
adalah cara mengatasi kecemasan berlebihan yang paling mudah.
2.
Ambil Tindakan
Rasa cemas membuat kita lumpuh oleh
ketakutan. Daripada hanya mencemaskannya saja, pikirkan dengan hati-hati
langkah yang bisa diambil untuk menghindari masalah tersebut. Misalnya, ketika
kamu mencemaskan masalah keuangan, pikirkan cara untuk mengurangi pengeluaran,
cara meningkatkan pendapatan dsb. Cara mengatasi kecemasan bukan
dengan hanya merasakannya dan seolah tidak berdaya. Ambilah tindakan, Beberapa
masalah tidak boleh diabaikan dan butuh tindakan, sebagian lagi tidak
memerlukan tindakan apa-apa karena hanya merupakan imajinasi belaka.
3.
Hati-Hati Dengan Apa Yang Dipikirkan
Ketika kita sering memikirkan sesuatu,
kemungkinan besar hal tersbut akan terwujud. Jika kita khawatir akan membuat
kesalahan, peluang kesalahan tersebut bisa terjadi semakin besar. Oleh karena
itu, berhati-hatilah dengan apa yang kamu pikirkan. Ingat tentang kekuatan
pikiran. Daripada memikirkan hal yang negatif, pikirkan cara mendapatkan jalan
keluar dari masalah.
4.
Kendalikan Pikiran
Cara menghilangkan kecemasan yang paling
utama adalah dengan belajar mengendalikan pikiran. Kadang kita dikuasai oleh
pikiran sendiri, seolah kita diperbudak oleh pikiran yang belum jelas.
Identifikasi pikiran yang muncul terlebih dahulu, terima jika pikiran itu benar
dan keluarkan bila pikiran itu hanya merusak diri. Milikilah kemampuan untuk
mengendalikan pikiran kita sendiri.
5.
Jangan Bersikap Angkuh
Kita sering khawatir tentang penilaian
orang lain terhadap diri kita. Kita khawatir tidak dapat memenuhi harapan orang
lain. Pemikiran seperti ini yang membuat diri angkuh karena terus-menerus
mencari penghargaan dan kekaguman dari orang lain. Diperlukan kepercayaan diri
yang tinggi dan ketenangan batin untuk tidak khawatir terhadap penilaian orang
lain.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
"...
3.2
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Nevid, S. J., Rathus,
SS., & Greene, B. 2003. Psikologi Abnormal/Edisi Kelima/Jilid I alih
bahasa Abnormal Psychology in a Changing Whord/Fifth
Edition. Erlangga: Jakarta
Semiun,
yustinus. 2010. kesehatan mental 2.
KASINUS: Yogyakarta
Halgin, P. Richard, Susan
Krauss Whitbourne. 2009. Psikologi Abnormal/Edisi Keenam/Buku 1. Salemba
Humanika: Jakarta
Fausiah Fitri, Widury
Julianti. 2007. Psikologi Abnormal Klinis
Dewasa.Universitas Indonesia: Jakarta
Supratiknya, Dr. A. 1995. Mengenal Perilaku Abnormal. Kasinus: Yogyakarta
Durand V. Mark & David H. BarlowI.2006. intisari Psikologi
Abnormal. Pustaka pelajar: Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar