Kamis, 06 November 2014

disosiatif dan somatoform disorders

fredikobi

BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar belakang
Gangguan somatisasi telah dikenal sejak jaman Mesir kuno. Nama awal untuk gangguan somatisasi adalah histeria, suatu keadaan yang secara tidak tepat diperkirakan hanya mengenai wanita, (kata “Histeria” di dapatkan dari kata bahasa Yunani untuk rahim,Hystera). Pada abad ke-17 Thomas Syndenham menemukan bahwa faktor psikologis yang dinamakannya penderitaan yang mendahului (antecendent sorrow), terlibat dalam patogenesis gejala gangguan somatisasi.
Pada tahun 1859 Paul Briquet, seorang dokter Prancis, mengamati banyaknya gejala dan sistem organ yang terlibat dan perjalanan penyakit yang biasanya kronis. Karena pengamatan klinis tersebut maka gangguan ini dinamakan Sindroma Briquet. Akan tetapi sejak tahun 1980 sejak diperkenalkan DSM edisi ketiga (DSM III) istilah “Gangguan Somatisasi” menjadi standar di Amerika Serikat untuk gangguan yang ditandai oleh banyak keluhan fisik yang mengenai banyak sistem organ. Untuk menambah dan melatih kecakapan penulis dalam mata kuliah Psikiatri, maka kami ditugaskan membuat sebuah makalah. Tugas makalah ini diajukan sebagai pemenuhan tugas semester mata kuliah tugas Psikiatri.
Makalah ini memaparkan dan membahas konsep gangguan somatoform dan aspek-aspek penyembuhan bagi penderitanya. Makalah ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk meneliti dan mengkaji konsep gangguan somatoform. Disamping memenuhi tugas mata kuliah Psikiatri, penulis juga ingin mengkaji teori somatoform lebih dalam, sehingga dapat mengetahui apa yang membuat bentuk gangguan tersebut tersebut muncul pada keadaan-keadaan tertentu.
1.2  Rumusan maslah
1.    Apakah yang dimaksud  disosiatif dan somatoform disorders?
2.    Apa saja kah gangguan terhadap disosiatif dan somatoform disorders itu?
3.      Bagaimana penangganan terhadap disosiatif dan somatoform disorders?
1.3  Tujuan
1.    Mengetahui maksud dari disosiatif dan somatoform disorders?
2.    Mengetahui apa saja kah gangguan terhadap disosiatif dan somatoform disorders itu?
3.      Mengetahui penangganan terhadap disosiatif dan somatoform disorders?
BAB II
PEMBAHASAN


2.1  GANGGUAN DISOSIATIF
a)      Difinisi  Gangguan Disosiatif
Gangguan disosiatif adalah gangguan-gangguan atau perubahan-perubahan dalam fungsi integrasi yang normal dari identitas, ingatan, atau kesadaran (Semiun, 2010).
Gangguan disasosiatif adalah gangguan yang ditandai dengan adanya perubahan perasaan individu tentang identitas, memori, atau kesadarannya. Individu yang mengalami gangguan ini memperoleh kesulitan dalam mengingat peristiwa-peristiwa penting yang pernah terjadi pada dirinya, melupakan identitas dirinya bahkan membentuk identitas baru (Davidson,Nale dalam Fausiah,widuri, 2007)
Disasosiatif psikologi adalah perubahan kesadaran mendadak yang mempengaruhi memori dan identitas. Individu yang menderita gangguan disasosiatif tidak mampu mengingat bergbagai peristiwa pribadi tentang atau selama beberapa saat lupa akan identitasnya atau bahkan membentuk identitas baru.
Secara umum gangguan disasosiatif bisa didefinisikan sebagai adanya kehilangan (sebagian, atau seluruh) dari integrasi normal (di bawah kendali sadar) yang meliputi ingatan masa lalu, kesadaran identitas dan penginderaan segera (awarness of indetity and immediate sensations), serta control terhadap gerak tubuh. 
Sedangkan menurut (Nevid,dkk, 2003), gangguan somatofrom adalah suatu kelompok gangguan yang ditandai oleh keluhan tentang masalah atau simtom fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh penyebab kerusakan fisik. Pada gangguan ini, orang memiliki sistem fisik yang mengingatkan pada gangguan fisik, namun tidak ada abnormalitas organik yang dapat ditemukan sebagai penyebabnya. Gejala dan keluhan somatik menyebabkan penderitaan emosional/gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Gangguan somatoform tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan.
b)     Macam-macam Gangguan Disasosiatif
Ada empat macam gangguan disosiatif: amnesia psikogenetik, fugue psikogenetik, kepribadian ganda, depersonalisasi (holmes, 1991 dalam Semiun, 2010).
Masing-masing tipe melibatkan disosiasi, tetapi cara disosiasi itu diperoleh berbeda antara gangguan yang satu dengan yang lain. misalnya, induvidu mungkin melupakan sesuatu hal yang menimbulkan stres (amnesia), meninggalkan situasi yang menyebabkan stres, dan megembangkan suatu identitas baru (fugue), atau mengembangkan kepribadian-kepribadian alternatif (kepribadian ganda).
1.      Amnesia Psikogenik
Amnesia disosiatif dipercaya sebagai tipe yang paling umum dari gangguan disosiatif (Maldonado, Butler, & Speigel, 1998 dalam Nevid,dkk 2003). Ketidakmampuan menyebutkan kembali informasi pribadi yang penting, biasanya melibatkan pengalaman yang traumatis atau penuh tekanan, dalam bentuk yang tidak dapat dianggap sebagai lupa biasa. Kehilangan ingatan disini tidak disebabkan dengan oleh penyebab organis tertentu, seperti kerusakan pada otak atau kondisi medis tertentu, bukan pula efek langsung dari obat-obatan.
2.       fugue psikogenetik
Fungue pada dasarnya adalah juga amnesia. Dengan dinamika yang sama dengan amnesia, fungue memperoleh perlengkapan lain untuk menghindari situasi dan keberhasilan dari keinginannya itu terjamin apabila ia melarikan diri dan meninggalkan rumahnya, kampung halamannya, kota atau tanah airnya. disini terjadi disosiasi dengan lingkungannya. Karena cenderung memilih untuk lari dari lingkungannya baik secara fisik maupun secara psikologis (dalam angan-angan dan khayalannya) (Semiun, 2010).
Ada usaha unsaha untuk merealisasikan harapan-harapan tertentu yang ditekankan atau ada usaha untuk menghindari beberapa peristiwa; atau ada usaha untuk melupakan kenangan-kengangan tersebut ditekan kuat-kuat kedalam alam tak sadar karena dianggap menggangu egonya. Keadaan fungue berlangsung mungkin dalam beberapa jam, beberapa hari, beberapa bulan, bahkan beberapa tahun (Semiun, 2010).
Penderita fungue biasanya tidak ingat lagi siapa dirinya, dari mana dia berasal, dan dimana dia sekarang meskipun melakukan segala hal sama seperti orang normal lainnya. Dengan kata lain ketika fungue ini berakhir penderita akan kembali lagi pada identitas aslinya, dan penderita sama sekali tidak ingat apa yang dia lakukan selama mengalami fungue.
Ciri lain dari fungue yang membedakan dari amnesia, yaitu bahwa dalam fungue, individu tidak menyadari sesuatu yang hilang dan menggunakan sesuatu yang baru (suatu identitas baru) secara tepat (Semiun, 2010).
3.      Depersonalisasi
 Gangguan depersonalisasi adalah suatu kehilangan atau distorsi diri yang sifatnya sementara dan hanya terjadi sekali-kali. Penderita gangguan ini merasa seolah-olah ukuran kaki dan tangan mereka berubah, seolah olah mereka bertindak secara mekanik, seolah-olah mereka berada dalam mimpi, atau seolah-olah mereka keluar dari tubuh mereka dan melihat diri mereka dari kejauhan (Seminun, 2010).
Kehilangan atau perubahan temporer dalam perasaan yang biasa mengenai realitas diri sendiri. Dalam suatu tahap depersonalisasi, orang merasa terpisah dari dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Mereka mungkin merasa sedang bermimpi atau bertingkah laku seperti robot (Guralnik, Schmeidler, & Simeon, 2000; Maldonado, Butler, & Speigel, 1998 dalam Semiun,2010).
  1. kepribadian ganda
Gangguan ini disebut juga gangguan identitas disosiatif (Kendall & Hammen,1998 dalam Semiun, 2010). ini adalah bentuk disosialisasi yang dramatis dimana penderita mengembangkan dua atau lebih kepribadian yang terpisah dan biasanya jelas berbeda. ada disosiasi lengkap dari kepribadian terhadap lingkungannya. ini disebabkan karena adanya kompleks kejiwaan dimana tata susunan kepribadian yang satu menunjukan ciri-ciri yang terpisah dan berlawanan dengan ciri-ciri tata susunan kepribadian yang lebih baik dari segi-segi emosional maupun dalam segi-segi kognitif. masing-masing masing pribadi lalu menjadi otonom, berdiri sendiri, berdampingan, berjejer tetapi tidak bersosiasi satu sama lain (tidak berhubungan, terdapat disosiasi).
Penggantian pribadi yang satu ke pribadi yang lain mungkin berlangsung beberapa kali dalam sehari, dalam satu minggu, atau dalam beberapa bulan. Penderita biasanya tidak ingat apa yang terjadi jika pribadi yang satu dengan yang satu sedang berfungsi, maka pribadi yang lain terdesak ke alam tak sadar.
c)      Penanganan Gangguan Disasosiatif
            Amnesia dan fugue disasosiatif biasanya merupakan pengalaman yang mengambang dan segera berakhir. Sedangkan episode-episode depersonalisasi dapat muncul kembali dan sifatnya persisten, dan biasanya terjadi bila orang tersebut berada dalam periode kecemasan atau depresi ringan. Pada kasus-kasus seperti itu, klinisi biasanya berfokus pada penanganan kecemasan atau depresinya. Sebagian besar perhatian dalam kepustakaan penelitian berfokus pada gangguan identitas disosiatif dan secara khusus pada usia mengintegrasikan kepribadian  alter menjadi sebuah struktur kepribadian yang kohesif (Nevid,dkk, 2003).
            Psikoanalisis berusaha membantu orang yang menderita gangguan identitas disosiatif untuk mengungkapkan dan belajar mengatasi trauma-trauma masa kecil. Mereka sering merekomendasikan membangun kontak langsung dengan kepribadian-kepribadian alter (Nevid,dkk, 2003). Contohnya, Wilbur (1986) menekankan bahwa analis dapat bekerja dengan kepribadian apapun yang mendominasi  sesi terapi. Setiap dan semua kepribadian dapat diyakinkan bahwa terapis akan membantu mereka untuk memahami kecemasan mereka dan untuk “membangkitkan” pengalaman traumatis mereka secara aman dan menjadikan pengalaman-pengalaman tersebut disadari. Wilbur meminta para terapis untuk selalu ingat bahwa kecemasan yang dialami saat sesi terapi dapat menyebabkan perpindahan kepribadian, karena kepribadian alter diasumsikan terbentuk sebagai alat untuk mengatasi kecemasan yang tinggi. Namun bila terapi berhasil, self akan mampu bergerak melalui ingatan traumatis dan tidak lagi perlu melarikan diri kedalam “self” pengganti untuk menghindari kecemasan yang diasosiasikan dengan trauma. Dengan demikian, integrasi dari kepribadian menjadi dimungkinkan.

2.2  GANGGUAN SOMATOFORM
a)      Definisi Gangguan Somatoform
Dalam psikologi dikenal istilah Somatoform Disorder (gangguan somatoform) yang di ambil dari bahasa Yunani soma, yang berarti “tubuh”. Dalam gangguan somatoform, orang memiliki simtom fisik yang mengingatkan pada gangguan fisik, namun tidak ada abnormalitas organik yang dapat ditemukan penyebabnya. Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik (sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan penjelasan medis. Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala. Gangguan somatoform adalah tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan.
Didalam somatoform disorder terdapat jenis-jenis yang memiliki spesifikasi dan gejala yang berbeda-beda. Pada gangguan somaform, sebuah kelompok gangguan psikologis yang melibatkan keluhan akan simtom-simtom fisik yang diyakini merefleksikan konflik atau isu psikologis yang mendasarinya pada sejumlah kasus tidak ada dasar medis untuk simtom-simtom fisik tersebut, seperti dalam bentuk kebutaan atau mati rasa secara histerikal (sekarang disebut gangguan konversi) pada kasus-kasus lain, orang dapat memegang pandangan yang berlebihan tentang makna dari simtom fisiknya, dan percaya bahwa hal itu merupakan tanda-tanda dari suatu penyakit serius meskipun diyakini tidak oleh dokternya (Nevid,dkk, 2003).
Gangguan Somatoform adalah gangguan yang bersifat psikologis, tetapi tampil dalam bentuk gangguan fisik yang melibatkan pola neurotic yang didasari anxiety. Individu mengeluh simtom simtom jasmaniah yang memberikan tanda seolah olah ada masalah fisik, tapi pada kenyataannya tidak ada landasan organis yang ditemukan (Semiun, 2010).

Gangguan somatoform merupakan kelompok gangguan yang meliputi symptom fisik (misalnya nyeri, mual, dan pening) dimana tidak dapat ditemukan penjelasan secara medis. Berbagai symptom dan keluhan somatik tersebut cukup serius sehingga menyebabkan stress emosional dan gangguan dalam kemampuan penderita untuk berfungsi dalam kehidupan sosial dan pekerjaan. Diagnosis ini diberikan apabila diketahui bahwa faktor psikologis memegang peranan penting dalam memicu dan mempengaruhi tingkat keparahan serta lamanya gangguan dialami (Kaplan,dkk dalam Fausiah,widuri, 2007)

b)     Macam-macam Gangguan Somatoform
Pada bagian ini akan dibahas tentang berbagai gangguan somatoform, antara lain gangguan somatisasi, gangguan nyeri (pain disorder), hipokondriasis, gangguan konversi, dan gangguan dismorfik.
  1. Gangguan somatisasi
Gangguan somatisasi adalah gangguan dengan karakteristik berbagai keluhan atau gejala somatik yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat dengan menggunakan hasil pemeriksaan fisik maupun laboratorium. Diagnosis gangguan somatisasi digunakan untuk individu-individu yang banyak menagalami keluhan-keluhan somatic, berulang-ulang dan berlangsung lama, yang jelas bukan karena suatu penyebab fisik yang actual. Individu-individu dengan gangguan ini menolak pandangan bahwa penyebab dari keluhan-keluhan mereka adalah factor psikologis dan mereka tetap mencari pengobatan.
Gangguan ini sifatnya kronis (muncul selama beberapa tahun dan terjadi sebelum usia 30 tahun), dan berhubungan dengan stres psikologis yang signifikan, hendaya dalam kehidupan sosial dan pekerjaan, serta perilaku mencari pertolongan medis yang berlebihan (Kaplan,dkk dalam Fausiah,widuri, 2007).

Adapun menurut DSM IV gejala-gejala yang muncul harus meliputi (APA, 1994):
·         Empat simtom nyeri pada lokasi yang berbeda (misalnya kepala, pundak, lutut, kaki).
·         Dua simtom gastrointestinal (misalnya diare, mual)
·         Satu simtom seksual yang berbeda dan rasa sakit/ nyeri (misalnya ketidakmampuan ereksi)
·         Satu simtom pseudoneurologis seperti pada gangguan konversi, Menurut (Davison & Neale 2001 dalam Fausiah,widuri, 2007)  gangguan ini diduga terjadi karena pasien terlalu sensitif dengan sensasi fisik, terlalu berlebihan dalam memperhatikan sensasi tersebut, atau menginterpretasikannya secara berlebihan. Pandangan behavioral menganggap bahwa gangguan ini adalah manifestasi kecemasan yang tidak realistis pada sistem ketubuhan.
  1. Gangguan nyeri (pain disorder)
Pada gangguan ini individu akan mengalami nyeri pada satu tempat atau lebih yang tidak dapat dijelaskan dengan pemeriksaan medis. Rasa sakit ini diduga muncul akibat faktor konflik psikologis. Penanganan yang dapat dilakukan adalah dengan pelatihan relaksasi, mengajari penderita bagaimana caranya menghadapi stres, mendorong untuk mengerjakan aktivitas yang lebih baik, dan meningkatkan kontrol diri (Durad,david, 2006).
Gangguan nyeri ditandai dengan adanya sakit parah sebagai fokus perhatian pasien kategori gangguan somatoform yang mencakup berbagai pasien dengan berbagai penyakit, termasuk sakit kepala kronis, masalah punggung, arthritis, nyeri otot dan kram, atau nyeri panggul. Dalam beberapa kasus nyeri pasien tampaknya sebagian besar karena faktor psikologis, namun dalam kasus lain rasa sakit berasal dari suatu kondisi medis serta psikologi pasien.
  1. Hipokondriasis
Hipokondriasis merupakan kondisi kecemasan yang kronis dimana pendrita selalu merasa ketakutan yang patologik terhadap kesehatannya sendiri. Penderita merasa yakin sekali bahwa dirinya mengidap penyakit yang parah (serius). Hipokondriasis adalah hasil interpretasi pasien yang tidak realistis dan tidak akurat terhadap simtom atau sensasi, sehingga mengarah pada preokupasi dan ketakutan bahwa mereka memiliki gangguan yang parah bahkan meskipun tidak ada penyebab medis yang diteniukan. Pasien yakin bahwa mereka mengalami penyakit yang serius dan belum dapat dideteksi, dan tidak dapat dibantah dengan menunjukkan kebalikannya (Kaplan,dkk,1994 dalam Fausiah,widuri, 2007).

Penyebab hipokondriasis dapat bermacam-macam (Supraptiknya,1995), antara lain:
·               Perhatian yang berlebihan pada fungsi-fungsi tubuh di masa kecil, entah karena meniru orang tua atau karena pernah sakit keras sehingga menjadikan yang bersangkutan pusat perhatian di keluarganya. Dengan kata lain, hipokondriasis merupakan gangguan khas orang-orang yang haus perhatian dari orang lain.
·               Frustasi tertentu sebagai faktor pencetus. Misalnya, seorang gadis yang tiba-tiba mengeluh menderita macam-macam penyakit sesudah putus hubungan dengan tunangannya.
·               Perkuatan yang diperoleh dari lingkungan sosial. Misalnya, karena mendapatkan pengalaman yang menyenangkan waktu menderita sakit, selanjutnya seorang anak mulai mengeluh menderita macam-macam penyakit setiap kali menghadapi tantangan hidup.
  1. Gangguan konversi
Menurut DSM IV, gangguan konversi adalah gangguan dengan karakteristik munculnya satu atau beberapa simtom neurologis (misal: buta, lumpuh, dll) yang tidak dapat dijelaskan secara medis dan diduga faktor psikologis memiliki peranan penting dengan awal dan keparahan gangguan.
Gangguan konversi (conversion disorders) dicirikan oleh suatu perubahan besar dalam fungsi fisik, meski tidak ada temuan medis yang dapat ditemukan  sebagai simtom atau kemunduran fisik. Simtom-simtom ini tidaklah dibuat secara sengaja. Simtom fisik itu biasanya timbul tiba-tiba dalam situasi yang penuh tekanan. Tangan seorang tentara dapat menjadi “lumpuh” saat pertempuran yang hebat.
Menurut DSM, simtom konversi menyerupai kondisi neurologis atau medis umum yang melibatkan masalah dengan fungsi motorik (gerakan) yang volunteer atau fungsi sensoris. Babarapa pola simtom yang klasik melibatkan kelumpuhan, epilepsy, masalah dalam koordinasi, kebutaan tunnel vision (hanya bisa melihat apa yang berada tepat didepan mata), kehilangan indra paendengaran atau penciuman atau kehilangan rasa pada anggota badan (anestesi) (Nevid,dkk 2003).    Anestesi yaitu kelumpuhan-sebagian atau seluruhnya-pada tangan atau kaki, gangguan koordinasi dan kejang, rasa kesemutan, seperti digelitik, atau seperti ada sesuatu yang merambat pada kulit, tidak sensitif terhadap rasa sakit (kebal), serta kehilangan atau gangguan sensasi (Davison, neale, dalam Fausiah,widuri, 2007).
     Davison & Neale (2001) dalam (Fusiah,widuri, 2007) mengemukakan beberapa pandangan mengenai etiologi gangguan konversi. Menurut pandangan psikoanalisa yang dikemukakan oieh Freud dan Breuler, gangguan konversi terjadi ketika seseorang mengalami peristiwa yang menimbulkan peningkatan emosi yang besar, namun afeknya tidak dapat diekspresikan, dan ingatan tentang peristiwa dihilangkan dan kesadaran. Pada tulisannya kem4djan, Freud mengemukakan hipotesis bahwa ganguan konversi terjadi pada awal kehidupan perempuan, yang berakar dan electra complex yang tidak terselesaikan.

Ada tiga katagori simtom (Supratiknya, 2010), antara lain:
·         Simtom sensorik, misalnya berupa hilangnya kepekaan terhadap berbagai rangsang yang berasal dari luar maupun dalam tubuh (anestesia); hilangnya kepekaan terhadap rasa sakit (analgesia); rabun ayam dan sebagainya.
·         Simtom motorik, misalnya berupa paralisis atau kelumpuhan, biasanya hanya pada salah satu tangan atau kaki dan lumpuhnyapun bersifat selektif dalam arti lumpuh untuk melakukan kegiatan tertentu tetapi sehat untuk kegiatan lain (contohnya adalah gangguan pada tangan yang disebut “writer’s cramp” atau kejang sang penulis, yaitu tidak dapat menggunakan tangan untuk menulis tetapi dapat untuk bermain kartu).
·         Simtom viskeral (rongga dada dan perut), misalnya berupa keluhan pusing, sesak napas, ujung tangan dan kaki dingin, dll.

  1. Gangguan dismorfik
Definisi gangguan ini adalah preokupasi dengan kecacatan tubuh yang tidak nyata (misalnya hidung yang dirasakannya kurang mancung), atau keiuhan yang beriebihan tentang kekurangan tubuh yang minimal atau kecil. Penyebab gangguan hingga saat ini belum dapat diketahui dengan pasti. Namun diperkirakan mungkin terdapat hubungan antara gangguan dengan pengaruh budaya atau sosial, dengan adanya konsep stereotip tentang kecantikan. Sedangkan menurut model psikodinamik, gangguan mi merefleksikan pemindahan konflik seksual atau emosional pada bagian tubuh yang tidak berhubungan. Mekanisme defensif yang digunakan adalah represi, disosiasi, distorsi, simbolisasi, dan proyeksi (Kaplan,dkk, 1994 dalam Fausiah,widuri, 2007).
c)      Penanganan  Gangguan Somatoform
Jika memang terindikasi bahwa kamu adalah penderita somatoform disorder disarankan segara mendatangi psikolog untuk diberikan penanganan terapi agar gangguan dapat berkurang. Namun untuk kamu yang masih dalam taraf yang normal berikut adalah tips agar mengurangi rasa cemas atau gugup pada saat menghadapi situasi-situasi yang kurang membuat kamu nyaman:
1.    Tunda Kecemasan
Ini adalah teknik sederhana mengatasi kecemasan. Jika kamu sedang menghadapi situasi yang mengkhawatirkan, coba katakan pada diri sendiri “nanti aja deh aku menghawatirkan ini, karna gak akan terjadi apa-apa hari ini”. Setiap kali masalah muncul di pikiran kamu, pakailah cara ini karna fakta mengatakan bahwa kecemasan berlebihan sebagian besar tidak pernah terjadi. Menunda hanya cara untuk mengatasi pikiran negatif. Sifat alami dari pikiran manusia adalah menciptakan masalah dan mencemaskannya. Teknik ini adalah cara mengatasi kecemasan berlebihan yang paling mudah.
2.    Ambil Tindakan
Rasa cemas membuat kita lumpuh oleh ketakutan. Daripada hanya mencemaskannya saja, pikirkan dengan hati-hati langkah yang bisa diambil untuk menghindari masalah tersebut. Misalnya, ketika kamu mencemaskan masalah keuangan, pikirkan cara untuk mengurangi pengeluaran, cara meningkatkan pendapatan dsb. Cara mengatasi kecemasan bukan dengan hanya merasakannya dan seolah tidak berdaya. Ambilah tindakan, Beberapa masalah tidak boleh diabaikan dan butuh tindakan, sebagian lagi tidak memerlukan tindakan apa-apa karena hanya merupakan imajinasi belaka.
3.      Hati-Hati Dengan Apa Yang Dipikirkan
Ketika kita sering memikirkan sesuatu, kemungkinan besar hal tersbut akan terwujud. Jika kita khawatir akan membuat kesalahan, peluang kesalahan tersebut bisa terjadi semakin besar. Oleh karena itu, berhati-hatilah dengan apa yang kamu pikirkan. Ingat tentang kekuatan pikiran. Daripada memikirkan hal yang negatif, pikirkan cara mendapatkan jalan keluar dari masalah.
4.    Kendalikan Pikiran
Cara menghilangkan kecemasan yang paling utama adalah dengan belajar mengendalikan pikiran. Kadang kita dikuasai oleh pikiran sendiri, seolah kita diperbudak oleh pikiran yang belum jelas. Identifikasi pikiran yang muncul terlebih dahulu, terima jika pikiran itu benar dan keluarkan bila pikiran itu hanya merusak diri. Milikilah kemampuan untuk mengendalikan pikiran kita sendiri.
5.    Jangan Bersikap Angkuh
Kita sering khawatir tentang penilaian orang lain terhadap diri kita. Kita khawatir tidak dapat memenuhi harapan orang lain. Pemikiran seperti ini yang membuat diri angkuh karena terus-menerus mencari penghargaan dan kekaguman dari orang lain. Diperlukan kepercayaan diri yang tinggi dan ketenangan batin untuk tidak khawatir terhadap penilaian orang lain.




PENUTUP

3.1  Kesimpulan
"...
3.2  Saran



DAFTAR PUSTAKA


Nevid, S. J., Rathus, SS., & Greene, B. 2003. Psikologi Abnormal/Edisi Kelima/Jilid I alih bahasa Abnormal Psychology in a Changing Whord/Fifth Edition. Erlangga: Jakarta

Semiun, yustinus. 2010. kesehatan mental 2. KASINUS: Yogyakarta
Halgin, P. Richard, Susan Krauss Whitbourne. 2009. Psikologi Abnormal/Edisi Keenam/Buku 1. Salemba Humanika: Jakarta

Fausiah Fitri, Widury Julianti. 2007. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa.Universitas Indonesia: Jakarta

Supratiknya, Dr. A. 1995. Mengenal Perilaku Abnormal. Kasinus: Yogyakarta
Durand V. Mark & David H. BarlowI.2006. intisari Psikologi Abnormal. Pustaka pelajar: Yogyakarta